Friday 29 November 2013

Sekali Lagi

Sekali lagi memasuki akhir tahun. Semua berjalan secepat kilat. Aku, kamu dan cerita kita. Semua berlari seakan tidak akan ada waktu lagi untuk sekedar beristirahat sejenak. Selamat menjadi seseorang yang dibanggakan kedua orangtua, pahlawan. Walaupun bukan karena aku, bukan seorang aku yang menjadi penyemangatmu, yang jelas semua sudah terlewati. Semua yang aku dan kamu perjuangkan, semua keluh kesah selama kita bergenggaman tangan, akhirnya terselesaikan juga. Selamat memasuki fase kehidupan selanjutnya, teman bercerita. Sekali lagi, ceritakan cerita kita kepada yang pasti bisa diceritakan. Ceritakan cerita kita kepada teman ceritamu selanjutnya, bahwa di fase awal kita, ada aku yang selalu menjadi teman setiamu.

Sekali lagi, aku akan segera memelukmu jika kamu mulai bercerita lagi.
itu pun jika kamu mau.

Sekali lagi.

Tuesday 19 November 2013

Angkuhnya Jarak Ini

Beberapa saat sebelum bercerita..
Aku sedang menunggu sebuah video call dari benua seberang. 
Jarak ini tidah hanya dibatasi dengan samudra dan tingginya pegunungan. Bukan juga karena membutuhkan waktu berpuluh jam untuk sekedar bertemu lagi. Hanya sebuah sela yang membatasi. 
Sebuah kekosongan yang sudah tidak terisi lagi kebiasaan kita berdua. Saling menggenggam dan bercerita. Atau itu hanya kebiasaanku. Kebiasaanku menunggu kamu untuk memulai bercerita. 

Pilu ini dimulai dari keangkuhan jarak yang kita cipatakan sendiri. Ini bukan salah siapa-siapa. Karena dasarnya kita memang sudah berbeda. Seperti sebuah frase yang berantakan, kita sudah bukan lagi sebuah kalimat yang bermakna. Aku selalu mencari sebuah celah dimana aku akan menemukan pangkal cerita ini. Tapi sepertinya saat ini aku akan menyimpannya lagi dalam-dalam. Dalam diam dan tertanam entah diungkapkan kapan. Tentu saja aku bukan seorang yang berhak menyalahkan keangkuhan jarak ini, karena bukan jarak yang salah. Yang salah hanyalah ego yang melekat kuat, entah aku ataupun kamu sebagai pelaku dalam cerita ini. 

Aku sudah menyimpan cerita kita dalam bab-bab cerita sebelumnya, aku pisahkan kepekatan cerita ini sesuai kadarnya. Aku tidak akan membahas semua kesenangan-kesenangan yang mungkin suatu saat bisa pudar dengan sendirinya. Setelah beberapa saat kamu hadir di sebuah layar monitor dengan  wajah seperti biasa, acuh tak acuh dengan gaya cuek luar biasa. Yah seperti inilah kesayangan. Sesosok yang diperjuangkan dengan pastinya, tapi selalu bertentangan dengan kenyataan. Ketika bahkan sampai detik ini, perasaan ini masih sama bentuk dan wujudnya. Hampir tidak ada yang berubah sama sekali. Beberapa detika yang ditawarkan Tuhan untuk sekedar berkomunikasi denganmu hari ini sudah bisa dikatakan sebuah berkah yang entah mungkin sudah lapuk dengan sendirinya. Namun beberapa saat kemudian, aku selalu berharap malam ini tidak pernah terjadi (lagi). Malam ketika kamu memintaku untuk melepaskan genggaman tanganku, melepaskan sebuah pelukan tulus dari dalam hati, melepaskan paksa perasaan yang disusun dengan kokohnya, menghiraukan semua resiko yang ada, kamu dengan ringannya memintaku untuk melepaskan. Aku masih dengan sedikit egoku melawan dengan sebuah keterpaksaan dan kehati-hatian biar kamu tidak tergores apapun. Tapi inilah yang terjadi (lagi). Sebuah keterbatasan komunikasi yang direntangkan bebasnya dengan sebuah jarak yang angkuh.


Aku tersesat lagi. 
Kali ini, aku sudah tidak punya cara. 
Cara untuk memanggilmu,(lagi). 
seperti biasa.


Bahkan dengan sebuah lagu yang sering kita dengarkan. 
atau mungkin dengan gonggongan anjing kecil kita. 
sepertinya mustahil .