Sunday 22 November 2015

Senjaku Menghilang

Bulan menari malu-malu, 
Senjaku menghilang sejak dia datang. 



Terlalu drama jika berharap punya mesin waktu dijaman yang terlalu angkuh ini. Waktu tidak selalu bersahabat rupanya. Tergesa-gesa dan menolak untuk diputar ulang, membuat jarak diantara kita terasa lebih lebar dari biasanya. Aku bagaikan Senja dan kamu Mataharinya. Kita tidak selalu bersama, kadang terlukis disebuah cerita yang sama, kadang sama sekali tak bertemu. Waktu seolah bagaikan langit luas, dan kita diantaranya. Beberapa berharap kita bertemu dan melukis kenangan bersama, tapi ada juga yang sudah merasa bahagia cukup dengan adanya kita dihari-hari mereka, dengan atau tanpa kita perlu bergandengan tangan. Kamu bagaikan sebuah melodi, yang iramanya selalu terdengar dipenghujung hari. Aku selalu menyediakan waktu untuk bertemu senja tiap harinya, entah ada atau tanpa matahari sekalipun. Karena kita seperti layaknya Senja yang tidak sengaja terlukis bersama Matahari. Tiba-tiba saja bertemu, tapi indah bersatu. 




Tapi, dimusim gugur ini, jarang sekali Senja bertemu Matahari.
Matahari selalu tergesa-gesa, seolah sudah enggan dengan keterbiasaan ini. 
Begitu juga kamu. 




Salam Hangat, 
Herbst, 22 November 2015
4 Hari Menuju Ujian*
-Pemuja Senja-




(Ujian hidup yang menentukan, apakah aku bisa bertahan melihat musim gugur tahun depan, dan kembali meihat senja yang dengan tidak sengaja bertemu mataharinya.) 

Friday 7 August 2015

DÉJÀ VU

Hari ini terulang lagi.
Beberapa tahun lalu aku merasakan keadaan seperti ini. Mencoba bertahan dalam diam masing-masing. Saling mencoba mencari tau apa yang salah hari ini. Tapi enggan menyapa.

Hari ini terulang lagi.
Hujan diluar tidak menjadikan hari ini lebih ramai.
Tetesan hujan yang jatuh di bingkai jendela juga seolah-olah merasakan yang kita rasakan sekarang.
Baik sekali mereka, menetes dengan perlahan. Seolah-olah enggan mengganggu kita yang sedang berduka. Entah berduka karena apa. Yang jelas dukaku hari ini pernah aku rasakan beberapa tahun lalu. Diammu ini sudah terlalu lama. Aku sudah mencari cara agar senyummu mengembang kembali, tapi sepertinya usahaku bakalan sia-sia saja.

Diammu hari ini entah karena apa, membuat semuanya kelabu.
Aku merindukan hari-hari yang sederhana. Sesederhana candaanmu.
Sesederhana cerita kita. Tanpa diam dan tanpa keluh kesah.
Aku menyukai apapun yang kamu katakan,
Ketika kamu percaya kalau aku adalah penikmat semua ceritamu.



Menunggu hujan reda,
(berharap) diammu juga mereda.

Thursday 6 August 2015

Merindukan Tawamu

Karena sekarang tawamu milik bersama.
Aku merindukan tawa ketika dengan sengaja kamu mencariku,
bercerita berlama-lama, sesekali mengejekku dengan candaanmu.


Aku rindu ketika kamu menghabiskan waktu dengan menelponku berjam-jam lamanya,
mengetikkan pesan di media sosial tanpa takut-takut.
Aku muak dengan keadaan ini.
Keadaan dimana genggaman tangan kita ini harus segera dilepaskan.
Keadaan dimana aku  hanya bisa menikmati tawamu samar-samar dari jauh.
Keadaan dimana sudah ada orang yang menjadi penggantiku untuk mendengarkan setiap ceritamu.
Aku muak. Karena tanpa tawamu,  Ini cuma jadi sebatas hari-hari terpaksa dilalui.
Selesaikan secepatnya. Aku atau kamu. Sama saja. Karena memang dari kita tidak ada yang memulai. Maka kita tidak seharusnya berakhir.






(Seperti ini.)

Wednesday 5 August 2015

Kembali Hanya Menjadi Bayangan

Baru saja mata ini terbuka. Melihatmu tertidur pulas disebelahku, membuatku enggan beranjak. Padahal aku bakalan tersiksa hari ini. Hari dimana aku hanya menjadi bayangan kebahagiaanmu. Menutupi apa saja yang membuatmu merasa kesepian. Ya, hari ini aku hanya sebatas bayangan, yang terlihat jika kamu mau, yang ada jika terpaksa ada. Aku hanya sebagai bayangan yang terinjak dan bakalan hilang ketika matahari kembali bersembunyi. Aku hanya bisa melihatmu tertawa bersama kebahagian-kebahagian hari ini. Aku hanya terbentuk kuat karena alasan itu. Alasan agar kamu tetap tersenyum. 
Kamu mulai membuka mata, mencari telefon genggam dan melihat pukul berapa sekarang. Aku masih diam melihatmu tersenyum-senyum, Iya. Ini harimu. Hari dimana kamu harus berbahagia dengan dia yang sudah lebih lama kamu puja. Aku mulai menarik nafas. Beranjak dan bergegas berlalu. Tapi tiap detik langkah ini seperti ada yang menarik-narik, menahan. Waktu berjalan melambat, Aku melangkah dengan malas. Yah akan terus seperti ini, aku hanya jadi bayangan yang siap  kapan saja menjadi teman ketika mataharimu sudah tidak bersinar lagi.
Seandainya saja senja kali ini lebih lama, aku mungkin akan baik-baik saja. Karena menjadi bayanganmu yang indah untuk waktu yang lama lebih baik daripada meliatmu gelisah sepanjang hari.




Karena senja hari-hari yang lalu,
cuma milik kita berdua.

Bahagia Secukupnya

Berbahagialah secukupnya,
Berharaplah secukupnya, 
karena semua ada limitnya. 



Ketika Bahagiamu habis, kamu tidak akan lagi bisa tersenyum. 
Sama seperti aku. Iya aku. Sekarang . 
Kita sama-sama berharap. Tapi dengan harapan yang berbeda.
Bahagiamu tidak terbatas. Entah terbuat dari apa dan oleh karena siapa. 
Yang jelas aku lebih baik melihatmu seperti ini. 
Biar saja Bahagiaku yang terbatas, asal semyummu selalu mengembang. 
Karena Bahagiaku ini sudah lebih dari cukup. 
Ketika jarak kita hanya sejauh genggaman tangan, 
dan aku masih bisa merasakan aroma badanmu yang menjadi kesukaanku.
Biar saja, yang lain menimbun Bahagia. 
Asal bersamamu, semua sudah terasa cukup. 
Kalaupun nantinya ini hanya menjadi sebuah cerita, 
Aku rasa ini sudah cukup menjadi Bahagiaku hari ini.  




Penikmat senyumanmu dikala senja, 
                      Aku.

Sunday 24 May 2015

SERUPA

Minggu Malam,
tanpa tawa, 23.14

Akhirnya tanpa sengaja aku menemukan lagi yang serupa. Iya, dia yang serupa dengan rumah,
Tanpa harus berkata-kata, dia selalu membawaku melihat kearahnya, mendengarkan ceritanya, menunggu senyumannya, mengamati gerakannya. Tanpa harus diberi sinyal, aku selalu menemukannya. Tanpa harus menebak-nebak aku sudah mengerti yang dia inginkan. Kita berdua serupa. Sama - sama mencari Rumah. Mencari tempat teraman untuk selalu bisa pulang kapan saja.
Kamu berpikir kamu belum menemukannya, tapi aku sudah lebih dulu menyadari. Aku menemukan rumahku, tepat didepanku. Tepat ketika kamu tersenyum, aku sudah lebih dulu menyadari, dimana aku harus pulang.


Regards,
Penikmat Cerita.