Wednesday 19 October 2016

Sebidang Punggung Berlalu


Winter di Tahun Kabisat,
hari-hari terakhir bersalju. 
Dari kedinginan yang menusuk tulang, 
punggungmu bagaikan api yang memanggil-manggil. 
memaksa ingin segera didatangi tanpa menghiraukan 
dia yang sudah ada sejak kita mulai bercerita. 


Putih dan dingin. Salju tadi malam turun dengan derasnya, dan dengan sengaja menciptakan kedinginan diantara kita, aku merindukan apa saja yang bisa membuatku teridur pulas. 
Malas memang, mencari-cari alas untuk membenamkan diri dikehangatan yang sederhana. Tapi bukan ini alasan utama, kenapa dingin ini bertahan lama. Kamu memang selalu ada akhir-akhir ini. 
Memanggilku seperti biasa, memaksaku selalu bertahan dikerasnya kehidupan. Sengaja mendekatkan diri ketika aku menggigil, menawarkan sebuah kehangatan yang demi apapun selalu aku terima dengan senang hati. Tapi tak segampang itu menerima dekapan tanganmu yang hangat. Dia yang selalu ada dihari-harimu nampak enggak melepaskan hangatmu yang sudah lebih dulu menempel dihatinya. Aku hanya sudah terbiasa untuk merelakan melihat punggungmu, disepanjang malam yang dingin ini. Merelakanmu mendekap yang perlu kamu dekap. Tak perlu hiraukan aku, karena hanya dengan berangan-angan kamu memutar badanmu dan melihatku saja, sudah cukup membuat musim yang putih ini merona dengan hangatnya. 



Dan biarkan musim ini berganti, 
biar dingin hilang dengan sendirinya, 
dan aku tak perlu lagi memandang punggungmu dengan iri. 
Membiarkan senyummu nanti dimusim selanjutnya, 
menyejukkan hati yang sudah berbulan-bulan menahan sendu.


Januari, 2016
Hampir setahun berlalu, tapi dingin ini masih sama. 

No comments:

Post a Comment